Posts Subscribe to This BlogComments

Follow Us

Artikel Terkini

1 2 3 4 5

Kamis, 11 November 2010

Misteri Gunung lawu









Gunung Lawu memang banyak menyimpan legenda, misteri yang banyak sekali. Selain dari beberapa objek wisata di sekitar Gunung lawu yang juga banyak menyimpan misteri, Gunung Lawu pun menyimpan banyak misteri.Cerita yang saya dapatkan dari sesepuh desa saya atau yang udah berkembang di masyarakat sekita Gunung Lawu tentang keberadaan Raden Brawijaya yang di percaya sebagai penguasa seluruh makluk hidup di Gunung Lawu. Raden Brawijaya ini adalah Raja dari Kerajaan Majapahit
Menceritakan sedikit tentang Kerajaan Majapahit. Majapahit adalah kerajaan besar dan malah terbesar dimasa Kerajaan Hindu dan Budha, yang puncak kejayaanya di waktu pemperintahan Hyam Wuruk (1350-1389). Saat itu sudah masuk kebudayaan Islam di Indonesia. Sudah adanya Sunan2 yang sering di sebut Wali songo di Jawa. Runtuhnya Kerajaan Majapahit ini karena Raden Brawijaya V tidak mau berperang dengan saudaranya sendiri yaitu Raden Patah Raja Demak. Awal perselisihan dan timbulnya penyerang terhadap majapahit adalah karena Raden Patah tidak mau menghadap ke Kerajaan Majapahit karena menganggap Ayahdanya kafir. Raden patah justru mengumpulkan semua adipati dan pasukan islam untuk menyerang Kerajaan Majapahit, tetapi sesampainya di kerajaan Majapahit Raden Brawijawa sudah tidak ada ditempatnya. Raden brawijaya bersama pengikut setiannya dikabarkan hijrah ke Gunung Lawu, setelah mendengar kabar tersebut pasukan Raden Patah mengerjarnya sampai ke Gunung Lawu. Pengejaran itu tidak membuahkan hasil karena Raden Brawijaya berpindah-pindah terus sampai lereng Gunung Lawu sebelahnya (daerah Karang Anyar) dari beberapa persinggahan tersebut Raden Brawijaya sempat mendirikan beberapa Candi, ataupun peninggalan lainnya. Seperti Sumur Jolotundo yang merupakan tempat Raden Brawijaya V menerima wngsit untuk meneruskan pendakian ke Gunung Lawu, Lumbung Selayur ini tempat penyimpanan bahan makanan para pengikut Raden Brawijaya V, Pawon Sewu Sebagai tempat memasak pada waktu itu, Gua Selarong tempat bermalam dan pemantauan, Sendang Intan yang digunakan untuk mengambil air, Jurang Pangari-Arip Tempat beristirahat sejenak, Sendang Drajad Juga tempat mengambil air bersih dan mandi, Kepatihan Tengen tempat peristirahatan, Agro Dalem ini tempat Raden Brawijaya V menjalakan Ritual, Pasar Diyeng disinilah para pengikut membuat pasar, Pandean Suroloyo tempat pembutan pusaka dan persenjataan, Argo Dumilah ini dulu untuk pemantaua para pengerjar, Telaga Kuning tempat mandinya para putri-putri pengikut, Argo Fruso ini tempat penyimpanan pusaka Raden Brawijaya V, Kayangan ini adalah taman yang dibagun untuk menikmati keindahan alam dan terakhir Selo Pundutan tempat latihan perang dan kanuragan pasukan pengikut Raden Brawijaya V.
Di lereng salah satunya saat Raden Brawijaya membagun Candi Sukuh tetapi sebelum selesai membagun candi ini di ketahui oleh Adipati Cepu dan kemudian dilakukan pengejaran lagi ke Gunug Lawu tetapi tidak membuahkan hasil juga, hal tersebut membuat Raden Brawijaya V marah dan bersapda " Keturunan Adipati Cepu tidak selamat apabila mendaki Gunung Lawu " Sabda itu sampai tahun ini masih dipertimbangkan para pendaki dari Kab. Cepu.

Kabar lain juga menyatakan


Gunung Lawu bersosok angker dan menyimpan misteri dengan tiga puncak utamanya : Harga Dalem, Harga Dumilah dan Harga Dumiling yang dimitoskan sebagai tempat sakral di Tanah Jawa. Harga Dalem diyakini masyarakat setempat sebagai tempat pamoksan Prabu Bhrawijaya Pamungkas, Harga Dumiling diyakini sebagai tempat pamoksan Ki Sabdopalon, dan Harga Dumilah merupakan tempat yang penuh misteri yang sering dipergunakan sebagai ajang menjadi kemampuan olah batin dan meditasi.

Konon kabarnya gunung Lawu merupakan pusat kegiatan spiritual di Tanah Jawa dan ada hubungan dekat dengan tradisi dan budaya keraton, semisal upacara labuhan setiap bulan Sura (muharam) yang dilakukan oleh Keraton Yogyakarta. Dari visi folklore, ada kisah mitologi setempat yang menarik dan menyakinkan siapa sebenarnya penguasa gunung Lawu dan mengapa tempat itu begitu berwibawa dan berkesan angker bagi penduduk setempat atau siapa saja yang bermaksud tetirah dan mesanggarah.

Siapapun yang hendak pergi ke puncaknya bekal pengetahuan utama adalah tabu-tabu atau weweler atau peraturan-peraturan yang tertulis yakni larangan-larangan untuk tidak melakukan sesuatu, baik bersifat perbuatan maupun perkataan, dan bila pantangan itu dilanggar di pelaku diyakini bakal bernasib naas.

Cerita dimulai dari masa akhir kerajaan Majapahit (1400 M). Alkisah, pada era pasang surut kerajaan Majapahit, bertahta sebagai raja adalah Sinuwun Bumi Nata Bhrawijaya Ingkang Jumeneng kaping 5 (Pamungkas). Dua istrinya yang terkenal ialah Dara Petak putri dari daratan Tiongkok dan Dara Jingga. Dari Dara Petak lahir putra Jinbun Fatah, dari Dara Jingga lahir putra Pangeran Katong.

Jinbun Fatah setelah dewasa menghayati keyakinan yang berbeda dengan ayahandanya yang beragama Budha. Jinbun Fatah seorang muslim. Dan bersamaan dengan pudarnya Majapahit, Jinbun Fatah mendirikan Kerajaan di Glagah Wangi (Demak). Melihat situasi dan kondisi yang demikian itu , masygullah hati Sang Prabu. Akankah jaman Kerta Majapahit dapat dipertahankan?

Sebagai raja yang bijak, pada suatu malam, dia pun akhirnya bermeditasi memohon petunjuk Sang Maha Kuasa. Dan wisik pun datang, pesannya : sudah saatnya cahaya Majapahit memudar dan wahyu kedaton akan berpindah ke kerajaan yang baru tumbuh serta masuknya agama baru (Islam) memang sudah takdir dan tak bisa terelakkan lagi.

Pada malam itu pulalah Sang Prabu dengan hanya disertai pemomongnya yang setia Sabdopalon diam-diam meninggalkan keraton dan melanglang praja dan pada akhirnya naik ke Puncak Lawu. Sebelum sampai di puncak, dia bertemu dengan dua orang umbul (bayan/ kepala dusun) yakni Dipa Menggala dan Wangsa Menggala. Sebagai abdi dalem yang setia dua orang umbul itu pun tak tega membiarkan tuannya begitu saja. Niat di hati mereka adalah mukti mati bersama Sang Prabu . Syahdan, Sang Prabu bersama tiga orang abdi itupun sampailan di puncak Harga Dalem.

Saat itu Sang Prabu bertitah : Wahai para abdiku yang setia sudah saatnya aku harus surut, aku harus muksa dan meninggalkan dunia ramai ini. Kepada kamu Dipa Menggala, karena kesetiaanmu kuangkat kau menjadi penguasa gunung Lawu dan membawahi semua mahluk gaib (peri, jin dan sebangsanya) dengan wilayah ke barat hingga wilayah Merapi/Merbabu, ke Timur hingga gunung Wilis, ke selatan hingga Pantai selatan , dan ke utara sampai dengan pantai utara dengan gelar Sunan Gunung Lawu. Dan kepada Wangsa Menggala, kau kuangkat sebagai patihnya, dengan gelar Kyai Jalak.

Suasana pun hening dan melihat drama semacam itu, tak kuasa menahan gejolak di hatinya, Sabdopalon pun memberanikan diri berkata kepada Sang Prabu: Bagaimana mungkin ini terjadi Sang Prabu? Bila demikian adanya hamba pun juga pamit berpisah dengan Sang Prabu, hamba akan naik ke Harga Dumiling dan meninggalkan Sang Prabu di sini. Dan dua orang tuan dan abdi itupun berpisah dalam suasana yang mengharukan.

Singkat cerita Sang Prabu Barawijaya pun muksa di Harga Dalem, dan Sabdopalon moksa di Harga Dumiling. Tinggalah Sunan Lawu Sang Penguasa gunung dan Kyai Jalak yang karena kesaktian dan kesempurnaan ilmunya kemudian menjadi mahluk gaib yang hingga kini masih setia melaksanakan tugas sesuai amanat Sang Prabu Brawijaya.

Tempat-tempat lain yang diyakini misterius oleh penduduk setempat selain tiga puncak tersebut yakni: Sendang Inten, Sendang Drajat, Sendang Panguripan, Sumur Jalatunda, Kawah Candradimuka, Repat Kepanasan/Cakrasurya, dan Pringgodani. Bagaimana situasi Majapahit sepeninggak Sang Prabu? Konon sebagai yang menjalankan tugas kerajan adalah Pangeran Katong. Figur ini dimitoskan sebagai orang yang sakti dan konon juga muksa di Ponorogo yang juga masih wilayah gunung Lawu lereng Tenggara.
 

Related Post



0 komentar:

Posting Komentar

 

My Friend's